01584 2200217 4500001002100000005001500021035002000036007000300056008004100059020001800100082001300118084001900131100002400150245003500174250001100209260004500220300002300265850002300288520103000311990002501341INLIS00000000001386520220929022757 a0010-0819000057ta220929 g u ind  a9789792232493 a899.2213 a899.2213 ARS c0 aArswendo Atmowiloto1 aCanting /cArswendo Atmowiloto aCet. 1 aJakarta :bGramedia Pustaka Utama,c2007 a408 hlm. ;c18 cm. aperpusdakotakediri aCanting, carat tembaga untuk membatik, bagi buruh-bunh batik menjadi nyawa. Setiap saat terbaik dalam hidupnya canting ditiup dengan napas dan perasaan. Tapi batik yang dibuat dengan canting kini terbanting karena munculnya jenis printing cetak. Kalau proses pembatikan lewat canting memerlukan waktu berbulan-bulan, jenis batik cetak ini cukup beberapa kejap saja. Canting, simbol budaya yang kalah, tersisih, dan melelahkan. Adalah Ni-sarjana farmasi, calon pengantin.. putri Ngabean-yang mencoba menekuni, walau harus berhadapan dengan Pak Bei, bangsawan berhidung mancung yang perkasa; Bu Bei, bekas buruh batik yang menjadi ibunya; serta kakak-kakaknya yang sukses. Canting, yang menjadi cap batik Ngabean, tak bisa bertahan lagi. "Menyadari budaya yang sakit adalah tidak dengan menjerit, tidak dengan mengibarkan bendera." Ni menjadi tidak Jawa, menjadi aeng---aneh, untuk bisa bertahan. Ni yang lahir ketika Ki Ageng Suryamentaram meninggal dunia, adalah generasi kedua, setelah ayahnya, yang berani tidak Jawa. a0041322/PU-KDR/HD/19